Balada Umat Hindu di Gorontalo: Sulit Membangun Pura, Berdoa di Antara Belukar dan Letupan Senjata

Mawa Kresna
12 menit
Andre (kanan) dan dua temannya melaksanakan ibadah purnama di bekas area yang mendapat penolakan pembangunan pura. (Project M/Franco Dengo)

DI BAWAH benderang bulan, tiga lelaki bersimpuh di tanah kering, menghadap semak belukar, merapalkan doa-doa. Malam itu, Rabu (13/7/2022), adalah malam yang suci–bulan sedang berada tepat di belakang bumi. Andre dan dua kawannya menunaikan kewajiban mereka sebagai umat Hindu: Melaksanakan ibadah purnama.

Ibadah purnama, atau umat Hindu menyebutnya harine purnama dipercaya menjadi momentum bagi seseorang untuk melakukan introspeksi, bersyukur, dan menjadi manusia yang lebih baik. Ketiga mahasiswa semester akhir itu nampak memaknai proses ibadah dengan khidmat, hingga selesai dan kembali ke asrama.

“Sampai kapan kita menyembah belukar? Maksudnya, saya tahu yang kita sembah bukan itu, tapi kan…” Andre lekas menyetop keluhnya. Dia alihkan fokus untuk melepas sarung merah dan seutas kain tenun yang terlilit di pinggangnya, lalu mengambil posisi duduk. “Saya betul-betul sudah kehabisan akal dengan (kondisi) ini.”

Andre atau I Kadek Handre Darmaputra merupakan mahasiswa asal Sulawesi Tengah. Sejak tahun 2019 dia tinggal di asrama alternatif, lokasinya berada tepat di atas Danau Perintis di Desa Huluduotamo, Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Bersama enam mahasiswa lain, mereka membagi petak-petak kamar di bangunan triplek itu.

Bangunan tersebut sebenarnya adalah gudang penyimpanan material-material pembangunan Pura. Tanah kering tempat mereka bersimpuh tadi adalah lahan yang semestinya dibangun Pura, tahun 2018, sebelum akhirnya mendapat penolakan. Tak hanya Pura, bangunan asrama mahasiswa Hindu Gorontalo pun ikut terkena imbas dari penolakan tersebut.

Hingga saat ini, tak hanya mahasiswa seperti Andre yang harus tinggal di asrama alternatif, tapi umumnya umat Hindu di Gorontalo harus mencari tempat ibadah alternatif untuk menjalankan ibadahnya.

Hari itu, Andre bisa saja tidak menyembah belukar, atau menghindarkan tulang pantatnya menyentuh tanah kering. Namun, jarak tempat ibadah alternatif lainnya sangat jauh, dan kondisi keuangan membuat dia tidak punya pilihan banyak.

“Tak punya uang untuk beli bensin. Untuk ibadah saja kita harus banyak berhitung. Mending di sini saja, meskipun kurang layak,” katanya.

Andre melakukan ritual ibadah di sebuah petak yang dibuat sebagai pura alternatif di asrama mahasiswa Hindu Gorontalo. (Project M/Franco Dengo)

Pura alternatif yang dimaksud Andre adalah Pura Girinatha yang terletak di Kabupaten Gorontalo. Dari lokasi asrama, jarak Pura tersebut sekira 18 km, dan harus ditempuh dengan waktu 30-40 menit. Pura tersebut menjadi alternatif satu-satunya bagi masyarakat Hindu dari empat wilayah di Gorontalo: Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, dan Kabupaten Gorontalo Utara.

Pura Girinatha terletak dan terselip di Kompi Senapan B Yonif  713/ST Gorontalo. Di Pura ini, umat Hindu Gorontalo hanya menumpang dan berbagi tempat dengan tentara. Tak hanya umat, Pura tersebut juga harus berbagi tembok dengan lapangan tembak. Jarak antara doa-doa dan bunyi senapan hanya bersekat satu tembok.

Tentu dalam hal apa saja yang namanya menumpang akan jauh dari kategori layak. Harus benar-benar mengorbankan privasi dan kenyamanan. Pernah dulu, cerita Andre, speaker yang ada di Pura tiba-tiba melantunkan musik dangdut saat umat sedang ibadah. Hal itu terjadi karena memang speaker tersebut pakai bluetooth, dan kemungkinan ada yang tak sengaja tersambung, karena Pura memang dekat dengan perumahan anggota kompi.

“Jadinya lucu, tapi miris. Lagi pula harus bagaimana, coba? Namanya juga menumpang,” kata Andre.

Menjadi minoritas, bagi Andre, harus terlatih melapangkan dada sebesar-besarnya, seluas-luasnya. Dia tidak menampik bahwa selama ini dia selalu iri dengan teman-temannya yang umat agama lain, yang bisa ibadah dengan bebas dan nyaman, yang difasilitasi dengan selayaknya. Sesuatu yang bahkan sudah dia anggap sebagai ketidakmungkinan.

Jangankan untuk persoalan ibadah, memiliki kesempatan yang sama mendapatkan ilmu agama di kampus saja, nihil. Di kampusnya, Universitas Negeri Gorontalo (UNG), ada mata kuliah agama, dan setiap jam mata kuliah agama tiba, mahasiswa Hindu seperti Andre hanya bisa keluar ruang kelas, sembari meratap.

Padahal, pada tanggal 16 Januari tahun 2019 lalu, UNG sempat mencanangkan sebuah desa di Kabupaten Pohuwato sebagai Desa Pancasila. Desa Banuroja yang jaraknya ratusan kilometer dari kampus itu dianggap sebagai miniatur praktek toleransi antar suku dan agama.

“Kami memiliki ikhtiar untuk menjaga keberagaman dan toleransi di Indonesia. Desa Banuroja adalah contoh keteladanan pengelolaan keberagaman dan toleransi di Indonesia,” kata Eduwart Wolok, Rektor UNG, pada kegiatan pencanangan itu. Kegiatan yang seolah hanya menjadi gimik, karena tak diberlakukan di kampus sendiri.

Jauh dari rumah dan jauh dari tempat ibadah adalah kompleksitas yang seringkali, kata Andre, membuat dia stres. Di beberapa momen dalam hidup—misalnya ketika tekanan semester akhir—menurut dia merupakan waktu di mana kebutuhan spiritual sangat perlu, agar tidak lari ke hal-hal yang berbau negatif. Tidak adanya akses dan fasilitas ibadah yang layak, bisa saja membuat risiko-risiko itu menjadi mungkin.

Bagaimana pun, sebagai minoritas, rasanya sulit sekali membangun tempat ibadah dan fasilitas keagamaan yang layak. Di kampus, di daerah, atau bahkan di negara ini, minoritas hanya dianggap sebagai penumpang.

Asrama mahasiswa Hindu terbengkalai. Asrama ini dibangun bersamaan dengan pura yang mendapat penolakan. (Project M/Franco Dengo)

Rentetan Penolakan

Berbeda cerita dengan Andre, Kadek Tirta Putri punya pengalaman yang cukup panjang dengan kondisi krisis tempat ibadah. Sebagai penduduk yang telah menetap di Kota Gorontalo, sudah lama dia merasakan kepahitan lantaran menjadi umat minoritas. Sejak kecil, dia harus terbiasa bertemu dengan orang-orang berseragam loreng lengkap dengan senjata, sebelum akhirnya bisa bertemu Tuhan.

Di Pura Girinatha, orang-orang yang ingin beribadah harus melewati prosedur militer: Melapor ke piket, memberitahu tujuan yang jelas, dan memperlihatkan identitas.

Kurangnya fasilitas keagamaan untuk umat Hindu di Gorontalo membuat Pura Girinatha menjadi satu-satunya wadah, termasuk bagi anak-anak yang ingin belajar tentang ilmu agama Hindu. Ketika Putri masih Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia pernah dicekal di pintu masuk kompi, lantaran tidak sempat mengenakan busana sembahyang. Busana sembahyang adalah satu password bagi umat Hindu yang mau beribadah di Pura di kompi itu, untuk mempertegas identitas.

“Mau kemana kamu?” tanya petugas yang ada di piket, dengan nada tegas.

“Mau ibadah, Pak,” jawab Putri.

“Lain kali kalau mau ibadah, pakai itu busana (sembahyang), biar jelas,” terang si petugas.

Putri hanya bisa terdiam, kalau istilah anak muda jaman sekarang: kena mental. Seorang anak yang hendak beribadah, harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai busana dan identitas.

Pengalaman-pengalaman semacam itu membuat Putri sempat merasa urung untuk ibadah di Pura tersebut. Tetapi pertanyaanya, mau ibadah di mana?

Belum lagi soal diskriminasi sebagai minoritas yang dia alami di bangku sekolah. Putri sudah terbiasa, lebih tepatnya memilih untuk membiasakan diri. Apa yang dialami Andre dan Putri ini hanya sebagian kondisi normal yang sudah dialami oleh generasi-generasi sebelum mereka. Rentetan penolakan pembangunan Pura bahkan sudah berlangsung sejak lama.

Umat Hindu beribadah di Pura Girinatha. (Project M/Franco Dengo)

Periode tahun 2000-2007 adalah masa-masa perjuangan mendirikan Pura di wilayah Kota Gorontalo dan sekitarnya. Tujuannya jelas: Untuk mengakomodir kebutuhan berupa fasilitas ibadah bagi warga Hindu di Kota. Akan tetapi, respon yang mereka dapati adalah sesuatu yang ‘tak tersudu di itik, tak termakan di ayam’. Empat kali ditolak.

Penolakan-penolakannya pun beragam. Mulai dari dicekal mentah-mentah ketika hendak melakukan sosialisasi, dikirimi petisi penolakan yang ditandatangani tokoh-tokoh agama, dan pernah dipaksa berhenti padahal baru tahap membersihkan lahan persiapan membangun Pura.

“Kami pernah dibilang ingin membangun kapal tanpa penumpang. Ingin mencari penumpang-penumpang baru. Padahal tidak, kami hanya ingin memfasilitasi umat kami, bukan ingin agitasi,” tegas I Wayan Sudhiarta, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Gorontalo.

Tidak adanya Pura membuat warga Hindu di masa itu harus mencari cara untuk beribadah bersama. Salah satunya dengan cara bergerilya: Mereka membagi jadwal ibadah bersama dari rumah (warga Hindu) satu ke rumah lainnya, begitu terus selama beberapa tahun. Strategi gerilya ini tentu adalah teknik bertahan dalam perang. Dalam konteks yang dialami warga Hindu Gorontalo, bertahan dari diskriminasi dan intoleransi.

I Wayan Sudhiarta adalah salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo. Tahun ini merupakan periode kedua dia menjabat sebagai wakil rakyat. Dia mengaku sudah sering mengusulkan masalah pembangunan Pura ini di dalam parlemen. Namun, lagi-lagi, di gedung itu pun dia hanyalah seorang minoritas.

“Mendingan saya berjuang di luar. Bersama organisasi PHDI, bersama masyarakat Hindu di Gorontalo,” jelas dia.

Upaya yang dilakukan termasuk rencana pembangunan Pura di Kabupaten Bone Bolango, tahun 2019 kemarin. Terlebih makin bertambahnya jumlah warga Hindu yang di Kota Gorontalo dan sekitarnya, membuat Pura yang layak harusnya menjadi penting. Meskipun pada akhirnya cerita tetap selesai dengan akhir yang sama. Pendirian Pura ditolak untuk kelima kalinya.

Satu-satunya cerita yang sedikit manis dalam perjuangan warga Hindu Gorontalo membangun Pura terjadi ketika tahun 2008. Kala itu, kebetulan pimpinan Batalyon Infanteri (Yonif) 713 Gorontalo yang baru dimutasi beragama Hindu. Tentu saja dia kaget dengan kenyataan bahwa, di tempat kerja barunya, sama sekali tidak ada Pura.

Pimpinan Yonif itu akhirnya menginisiasi pembangunan Pura, dengan tujuan tidak hanya memfasilitasi warga Hindu Gorontalo secara umum, tetapi khususnya untuk anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Gorontalo yang beragama Hindu. Pura didirikan dan diberi nama Pura Girinatha. Pura itu menjadi sebuah penanda: Untuk membangun tempat ibadah, persyaratan utama harus punya kuasa.

Pintu gerbang utama Pura Girinatha. (Project M/Franco Dengo)

Di beberapa daerah di Indonesia, banyak Pura yang dibangun di lembaga atau instansi baik itu militer maupun sipil. Ini juga berlaku bagi tempat ibadah agama lain, di mana pemeluknya menjadi minoritas. Di negara ini, lebih sulit mengurus izin membangun tempat ibadah, ketimbang izin industri ekstraktif.

Oase di Padang Pasir

Di antara semak-semak belukar, Komang Suwardhana sangat khusyuk melangitkan doa-doa. Sebagai Pinandita—orang yang disucikan, atau pemuka agama Hindu—dia dipercaya sebagai orang yang melakukan ritual permohonan izin pendirian Pura, kepada semesta dan ibu pertiwi.  Dalam ajaran Hindu, ibu pertiwi adalah seorang dewi, sering juga disebut “ibu bumi”.

Pada awal tahun 2018 itu, optimisme mendirikan tempat ibadah kembali menyelimuti warga Hindu di Gorontalo. Alat berat mulai bekerja, material-material bangunan sudah mulai berdatangan, semua berlangsung dengan mulus. Pendirian Pura diinisiasi oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Gorontalo waktu itu, Made Suratmaja, yang kebetulan memang beragama Hindu.

Dari yang semula berjalan lancar, mulai muncul desas-desus informasi tentang adanya masalah di lokasi pembangunan Pura. Kabar itu makin kencang ketika menyusul kabar lain yang menyatakan bahwa sang inisiator, Kajati Made, akan dimutasi pindah dari Gorontalo. Dan benar saja, pembangunan dihentikan lantaran adanya penolakan dari warga, serta belum terpenuhinya syarat yang menjadi regulasi.

“Semesta dan ibu pertiwi sudah menerima. Tapi sayangnya manusia masih menolak,” kata Komang. Pupus lagi harapan mereka untuk mencicipi rumah ibadah yang layak.

Salah satu yang sering meruntuhkan harapan warga minoritas untuk mendirikan tempat ibadah adalah regulasi, yakni: Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat.

Pendirian tempat ibadah membutuhkan paling sedikit 90 nama pengguna tempat ibadah yang disahkan pejabat setempat; pendirian tempat ibadah harus didukung sedikitnya 60 warga setempat dan disahkan oleh lurah atau kepala desa; mendapat rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.

Regulasi ini sebenarnya sudah ditentang dan disoroti oleh berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut komisioner Komnas Ham, Beka Ulung Hapsara, regulasi problematik ini seringkali jadi akar dari konflik-konflik pendirian tempat ibadah.

“Regulasinya memang kurang memberikan perlindungan dan kemudahan bagi minoritas, untuk membangun tempat ibadah,” tegas Beka.

Dari catatan Komnas HAM, dalam 15 tahun terakhir ini setidaknya ada lebih dari 500 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di antaranya kasus-kasus pendirian rumah ibadah. Korbannya tidak hanya satu agama, tapi menyasar agama di mana ia menjadi minoritas.

“Harus dibuat regulasi yang lebih kuat dan mengikat kepada negara (pemerintah pusat dan daerah). Untuk menjamin dan menyediakan tempat ibadah ketika ada penolakan,” ujar Beka.

Sejak mendapat penolakan, area pembangunan pura terbengkalai dan dijadikan tempat penggembalaan sapi oleh warga sekitar. (Project M/Franco Dengo)

Kuatnya polarisasi yang terjadi belakangan, ditengarai ikut memperuncing konflik antar umat beragama. Para pembuat kebijakan, lanjut Beka, berhitung popularitas alih-alih menjunjung tinggi konstitusi.

Pada kasus yang dialami umat Hindu di Gorontalo itu, misalnya, seorang wakil Ketua DPRD Kabupaten Bone Bolango, Kris Wartabone, secara terbuka menolak pembangunan Pura di wilayahnya. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga merupakan saudara kandung Wakil Bupati Bone Bolango ini menulis di beranda facebook-nya, bahwa dia menolak keras Pura dibangun di tanah leluhurnya.

Gorontalo dijuluki serambi madinah, julukan yang seringkali dipakai untuk melegitimasi mayoritarianisme. Padahal, dalam penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama Makassar, disebutkan bahwa asal-muasal julukan itu hanyalah kebutuhan identitas politik daerah yang saat itu menjadi provinsi baru, tahun 2000 silam. Tidak ada dasar fundamental.

Pun dalam ajaran islam, madinah justru dekat dengan cerita-cerita dan praktik soal toleransi dan kebebasan beragama. Berbanding sangat terbalik dengan serambi-nya yang menempati peringkat ke-2 dalam hal paham radikalisme (survey BNPT dan FKPT tahun 2017).

Menjadi tokoh agama dari kalangan minoritas membuat Komang Suwardhana dipaksa lebih banyak meratap. Mengorbankan kenyamanan, atas nama keamanan dan citra daerah.

“Takutnya, kalau kita menuntut lebih, nanti hanya akan menimbulkan konflik lagi. Meskipun jujur kita butuh (tempat ibadah yang layak),” ujar dia.

Komang adalah penanggungjawab di Pura Girinatha. Dia orang yang paling banyak melihat dinamika yang terjadi di Pura lapangan tembak tersebut. Misalnya harus mengatur waktu ibadah, agar tidak bertepatan dengan waktu apel dan kegiatan-kegiatan di kompi atau membagi beberapa shift karena Pura tersebut tidak bisa menampung semua warga Hindu dari empat kabupaten/kota.

Suatu hari, tak ada angin dan tak ada hujan, Komang mendapati ujung Padmasana—tempat bersembahyang dan menaruh sajian—tercecer di tanah. Dia melihat sekilas seperti ada bekas hantaman peluru. Meski itu adalah benda yang sakral, Komang tak ingin memperpanjang sangkaan buruk. Dia menghela nafas panjang dan menganggap ini risiko menumpang. Risiko penumpang.

“Kita ini seperti oase di padang pasir,” ujar sang Pinandita.


Laporan ini bagian dari serial #HakMinoritas

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
12 menit